KETOKOHAN SYEIKH HAMZAH AL-FANSURI
mukadimah
Syeikh
Hamzah Fansuri merupakan seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan
terkemuka yang diperkatakan riwayat hidupnya antara pertengahan abad ke-16
sampai awal abad ke-17. Gelaran
atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya
memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu sulukini berasal dari Fansur,
sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai
barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16
kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan
musafir dari negeri-negeri jauh.
Karya-karya hasil tangan Hamzah Fansuri
Hamzah
Fansuri menghasilkan banyak karya tulis, akan tetapi karya-karya tulisnya itu
bersama karya-karya tulis Syamsuddin Sumatrani, dibinasakan (dibakar)
berdasarkan perintah Sultan Iskandar Sani atau anjuran Huruddin al-Riniri,
mufti dan penasehat agama di Istana Sultan tersebut.
Di
antara syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang
terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya
antara lain :
{ Syair
Burung Pingai.
{ Syair
Dagang.
{ Syair
Pungguk.
{ Syair
Sidang Faqir.
{ Syair
Ikan Tongkol.
{ Syair
Perahu
gambar diatas menunjukkan hasil karya penulisan syair Hamzah Fansuri
gurindam syair perahu
Karangan-karangan
Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
{ Asfarul
‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid.
{ Syarbar ‘asyiqiin.
{ Al-Muhtadi.
{ Ruba’i
Hamzah al-Fansuri
Hamzah merupakan pengarang pertama yang mencatat
nama pengarang iaitu mencatat namanya sendiri di rangkap akhir karyanya. Teknik
yang digunakan Hamzah merupakan teknik daripada pengaruh qasidah dan juga
ghazal. Hamzah juga merupakan pengarang pertama yang memperkenalkan mukadimah
dalam karya-karya ilmiah.
Sumbangannya sangat besar bagi
perkembangan kebudayaan di nusantara, khususnya dalam bidang kerohanian,
keilmuan, falsafah, bahasa dan sastera. Dalam bidang keilmuan, Hamzah telah
mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang bercorak mistik dan
bersifat ilmiah. Hamzah merupakan pengasas kepada penulisan sastera sufi atau
mistik dan berpegang kuat kepada aliranWahdatul Wujud.
Dalam bidang sastera, Hamzah mempelopori pula
penulisan puisi-puisi Islam bercorak kesufian, mistik, metafizik dan
pembicaraan terhadap hubungan insan dengan penciptanya dan
keseluruhannya. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh
penyair lain yang sezaman atau selepasnya.
Dalam kesusasteraan pula, Hamzah ialah orang
pertama yang memperkenalkan syair dan puisi empat baris dengan skema sajak
akhir “aaa” seperti sebelumnya. Jika dilihat dari struktur puisinya, syair yang
diperkenalkan oleh Hamzah seolah-olah merupakan perpaduan antara sajak Parsi
dengan pantun Melayu.
Hamzah banyak menghasilkan menghasilkan karya
berbentuk prosa dan puisi. Contoh karya dalam bentuk prosa ialah Asrarul
Ariffin, Syarab al Asyikin dan Al-Muhtahi. Kitab Syarab al
Asyikinmerupakan kitab tasawuf yang pertama ditulis dalam bahasa Melayu yang
membicarakan syariat, tarekat, hakikat, makrifat dan zat tuhan. Sementara kitab Asrarul
Ariffin merupakan sebuah kitab tasawuf yang membicarakan tentang akidah
menurut aliran Wahdatul Wujud.Antara contoh karya Hamzah dalam bentuk
puisi yang berunsur agama dan tasawuf ialah syair Perahu, syair Dagang, syair
Burung Pingai, dan syair Sidang Fakir. Karya-karya syairnya tergolong dalam
karya falsafah dan metafizika atau mistik iaitu membicarakan tentang kewujudan
Tuhan dan hubungannya di antara manusia dengan Tuhan.
Hamzah juga turut memberi sumbangan dalam bidang
bahasa iaitu sebagai penulis pertama kitab keilmuan dalam bahasa Melayu malah
Hamzah berjaya mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual dan ekspresi
keilmuan yang hebat
Karya-karya
Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair mahupun berbentuk prosa banyak
menarik perhatian para sarjana-sarjana orientalis barat dan nusantara. Yang
banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed
Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh R.O Winstedt yang
diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang
tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed
Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara
mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan
Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri
antaranya :
Ø The
Misticum of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press
1970.
Ø Raniri
and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966.
Ø New
Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967.
Puisi-puisi
penyair sufi biasanya tidak lengkap tanpa disertai tanda-tanda kesufian
seperti, faqir, asyiq dan lain sebagainya. Tanda serupa ini kita
jumpai di dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri. Di antara tanda kesufian yang
banyak ditemukan di dalam syair-syair Hamzah Fansuri ialah anak dagang,
anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani, ungkas quddusi, dan
kadang-kadang digunakan dengan nama pribadinya seperti Hamzah
Miskin, Hamzah Gharib dan lain-lain.
Ajaran Wujudiyah
Peranan
penting Syeikh Hamzah Fansuri dalam sejarah pemikiran dunia Melayu Nusantara
bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi puisinya yang mencerminkan
pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya.
Salah satu karya penting dari Syeikh Hamzah Fansuri adalah Zinat al-Wahidin yang
ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit antara
faham wahdatul wujud sedang berlangsung dengan tegang di Sumatera.
Teks ini diyakini oleh para peneliti sebagai kitab keilmuan pertama yang
ditulis dalam bahasa Melayu. Syeikh Hamzah Fansuri juga dikenal sebagai seorang
pelopor dan pembaharu melalui karya-karya Rubba al-Muhakkikina, Syair
Perahu dan Syair Dagang. Kritiknya yang tajam terhadap perilaku
politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya
sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya.
Sebagai
seorang tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri pernah memperlihatkan dalam
karya-karyanya bahwa Syeikh mempunyai hubungan dengan tasawuf yang berkembang
di India pada abad ke-16 dan 17. Syeikh Hamzah Fansuri langsung mengaitkan
dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16. Bayazid dan
al-Hallaj merupakan tokoh idola Syeikh Hamzah Fansuri di dalam cinta (‘isyq)
dan ma’rifat, dipihak lain Syeikh sering mengutip pernyataan dan
syair-syair Ibnu ‘Arabi serta Iraqi untuk menopang pemikiran kesufiannya.
Hubungan Syekh Hamzah Fansuri dengan para penulis jarang sekali memperoleh
perhatian para sarjana tasawuf di Indonesia. Padahal selain Ibnu ‘Arabi
pemikir sufi yang banyak memberi warna pada pemikiran wujudiyah.
Syeikh ialah Fakhruddin Iraqi. Seringnya Syeikh menyebut dan
mengutip lama’at lama’at karya Iraqi, memperlihatkan adanya perhatian
istimewa antara pandangannya dengan pandangan Iraqi.
Yang
selalu disangga oleh orang tentang ajaran Hamzah Fansuri ialah karena faham
“wahdatul wujud”, “hulul”, “ittihad” karenanya terlalu mudah orang-orang
mengecapnya sebagai seorang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Ada
orang yang menyangka bahwa beliau adalah pengikut fahamsyi’ah, ada juga
yang mempercayai bahwa ia adalah bermadzab syafi’i di bidang fiqih, dalam
pegangan tasawuf, beliau pengikut thariqat Qadiriyah yang dibangsakan
kepada Syeikh Abdul Qodir Jailani.
Walaupun
pemikiran wujudiyah telah berakar lama di dalam pemikiran para sufi sebelum
abad ke13 seperti Hallaj, Imam al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi, namun pemakaian
istilah wahdatul wujud sebagaimana kita kenal sekarang ini bukan
berasal dari Ibn ‘Arabi, istilah tersebut mula-mula dikemukakan oleh Qunawi
setelah melakukan tafsir yang mendalam atas karya-karya Ibn ‘Arabi.
Istilah Wahdatul Wujud (dari mana istilah wahdatul wujud berasal)
dikemukakan untuk menyatakan bahwa keesaan Tuhan (tauhid) tidak bertentangan
dengan gagasan tentang penampakan pengetahuannya yang berbagai di alam fenomena
(alam al-khalq). Tuhan sebagai dzat mutlak satu-satunya di dalam keesaannya
memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya Tuhan adalah transenden (tanzih).
Tetapi karena dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam
semesta dan di dalam diri manusia, maka Dia memiliki kehadiran spiritual di
alam kejadian. Kalau tidak demikian maka dia bukan yang zakir dan yang batin,
sebagaimana al-Qur’an mengatakan, dan kehampirannya kepada manusia tidak akan
lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Karena manifestasi pengetahuannya
berbagai-bagai dan memiliki penampakan zakir dan batin, maka di samping
transenden dia juga immanen (tashbih). Dasar-dasar gagasan wujudiyah semacam
inilah yang dikembangkan Iraqi.
Rujukan:
Harun
Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam
Indonesia, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1992, hlm. 296
Hawash
Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf
dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, t.pn., Surabaya, 1930, hlm. 35-36
Tiada ulasan:
Catat Ulasan