_SeUnTai KaTa_

Ahad, 28 April 2013

KETOKOHAN SYEIKH HAMZAH AL-FANSURI

KETOKOHAN SYEIKH HAMZAH AL-FANSURI






mukadimah
Syeikh Hamzah Fansuri merupakan seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan terkemuka yang diperkatakan riwayat hidupnya antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17.  Gelaran atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu sulukini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.

Karya-karya hasil tangan Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri menghasilkan banyak karya tulis, akan tetapi karya-karya tulisnya itu bersama karya-karya tulis Syamsuddin Sumatrani, dibinasakan (dibakar) berdasarkan perintah Sultan Iskandar Sani atau anjuran Huruddin al-Riniri, mufti dan penasehat agama di Istana Sultan tersebut.
Di antara syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :
{  Syair Burung Pingai.
{  Syair Dagang.
{  Syair Pungguk.
{  Syair Sidang Faqir.
{  Syair Ikan Tongkol.
{  Syair Perahu


 gambar diatas menunjukkan hasil karya penulisan syair Hamzah Fansuri


gurindam syair perahu  


Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
{  Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid.
{  Syarbar ‘asyiqiin.
{  Al-Muhtadi.
{  Ruba’i Hamzah al-Fansuri



Hamzah merupakan pengarang pertama yang mencatat nama pengarang iaitu mencatat namanya sendiri di rangkap akhir karyanya. Teknik yang digunakan Hamzah merupakan teknik daripada pengaruh qasidah dan juga ghazal. Hamzah juga merupakan pengarang pertama yang memperkenalkan mukadimah dalam karya-karya ilmiah.

Sumbangannya sangat besar  bagi perkembangan kebudayaan di nusantara, khususnya dalam bidang kerohanian, keilmuan, falsafah, bahasa dan sastera. Dalam bidang keilmuan, Hamzah telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang bercorak mistik dan bersifat ilmiah. Hamzah merupakan pengasas kepada penulisan sastera sufi atau mistik dan berpegang kuat kepada aliranWahdatul Wujud.

Dalam bidang sastera, Hamzah mempelopori pula penulisan puisi-puisi Islam bercorak kesufian, mistik, metafizik dan pembicaraan  terhadap hubungan insan dengan penciptanya dan keseluruhannya. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman atau selepasnya.

Dalam kesusasteraan pula, Hamzah ialah orang pertama yang memperkenalkan syair dan puisi empat baris dengan skema sajak akhir “aaa” seperti sebelumnya. Jika dilihat dari struktur puisinya, syair yang diperkenalkan oleh Hamzah seolah-olah merupakan perpaduan antara sajak Parsi dengan pantun Melayu.

Hamzah banyak menghasilkan menghasilkan karya berbentuk prosa dan puisi. Contoh karya dalam bentuk prosa ialah Asrarul Ariffin, Syarab al Asyikin dan Al-Muhtahi. Kitab Syarab al Asyikinmerupakan kitab tasawuf yang pertama ditulis dalam bahasa Melayu yang membicarakan syariat, tarekat, hakikat, makrifat dan zat tuhan. Sementara kitab Asrarul Ariffin merupakan sebuah kitab tasawuf yang membicarakan tentang akidah menurut aliran Wahdatul Wujud.Antara contoh karya Hamzah dalam bentuk puisi yang berunsur agama dan tasawuf ialah syair Perahu, syair Dagang, syair Burung Pingai, dan syair Sidang Fakir. Karya-karya syairnya tergolong dalam karya falsafah dan metafizika atau mistik iaitu membicarakan tentang kewujudan Tuhan dan hubungannya di antara manusia dengan Tuhan.

Hamzah juga turut memberi sumbangan dalam bidang bahasa iaitu sebagai penulis pertama kitab keilmuan dalam bahasa Melayu malah Hamzah berjaya mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang hebat

Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair mahupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana-sarjana orientalis barat dan nusantara. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh R.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :
   Ø  The Misticum of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970.
   Ø   Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966.
   Ø  New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967.
   Ø  The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968[5]

Puisi-puisi penyair sufi biasanya tidak lengkap tanpa disertai tanda-tanda kesufian seperti, faqir, asyiq dan lain sebagainya. Tanda serupa ini kita jumpai di dalam sajak-sajak Hamzah Fansuri. Di antara tanda kesufian yang banyak ditemukan di dalam syair-syair Hamzah Fansuri ialah anak dagang, anak jamu, anak datu, anak ratu, orang uryani, ungkas quddusi, dan kadang-kadang digunakan dengan nama pribadinya seperti Hamzah Miskin, Hamzah Gharib dan lain-lain.


Ajaran Wujudiyah
Peranan penting Syeikh Hamzah Fansuri dalam sejarah pemikiran dunia Melayu Nusantara bukan saja karena gagasan tasawufnya, tetapi puisinya yang mencerminkan pergulatan penyair menghadapi realitas zaman dan pengembaraan spiritualnya. Salah satu karya penting dari Syeikh Hamzah Fansuri adalah Zinat al-Wahidin yang ditulis pada akhir abad ke-16 ketika perdebatan sengit antara faham wahdatul wujud sedang berlangsung dengan tegang di Sumatera. Teks ini diyakini oleh para peneliti sebagai kitab keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu. Syeikh Hamzah Fansuri juga dikenal sebagai seorang pelopor dan pembaharu melalui karya-karya Rubba al-Muhakkikina, Syair Perahu dan Syair Dagang. Kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya menempatkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya.
Sebagai seorang tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri pernah memperlihatkan dalam karya-karyanya bahwa Syeikh mempunyai hubungan dengan tasawuf yang berkembang di India pada abad ke-16 dan 17. Syeikh Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16. Bayazid dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Syeikh Hamzah Fansuri di dalam cinta (‘isyq) dan ma’rifat, dipihak lain Syeikh sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibnu ‘Arabi serta Iraqi untuk menopang pemikiran kesufiannya. Hubungan Syekh Hamzah Fansuri dengan para penulis jarang sekali memperoleh perhatian para sarjana tasawuf di Indonesia. Padahal selain Ibnu ‘Arabi pemikir sufi yang banyak memberi warna pada pemikiran wujudiyah. Syeikh ialah Fakhruddin Iraqi. Seringnya Syeikh menyebut dan mengutip lama’at lama’at karya Iraqi, memperlihatkan adanya perhatian istimewa antara pandangannya dengan pandangan Iraqi.

Yang selalu disangga oleh orang tentang ajaran Hamzah Fansuri ialah karena faham “wahdatul wujud”, “hulul”, “ittihad” karenanya terlalu mudah orang-orang mengecapnya sebagai seorang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Ada orang yang menyangka bahwa beliau adalah pengikut fahamsyi’ah, ada juga yang mempercayai bahwa ia adalah bermadzab syafi’i di bidang fiqih, dalam pegangan tasawuf, beliau pengikut thariqat Qadiriyah yang dibangsakan kepada Syeikh Abdul Qodir Jailani.
Walaupun pemikiran wujudiyah telah berakar lama di dalam pemikiran para sufi sebelum abad ke13 seperti Hallaj, Imam al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi, namun pemakaian istilah wahdatul wujud sebagaimana kita kenal sekarang ini bukan berasal dari Ibn ‘Arabi, istilah tersebut mula-mula dikemukakan oleh Qunawi setelah melakukan tafsir yang mendalam atas karya-karya Ibn ‘Arabi. Istilah Wahdatul Wujud (dari mana istilah wahdatul wujud berasal) dikemukakan untuk menyatakan bahwa keesaan Tuhan (tauhid) tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahuannya yang berbagai di alam fenomena (alam al-khalq). Tuhan sebagai dzat mutlak satu-satunya di dalam keesaannya memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya Tuhan adalah transenden (tanzih). Tetapi karena dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia, maka Dia memiliki kehadiran spiritual di alam kejadian. Kalau tidak demikian maka dia bukan yang zakir dan yang batin, sebagaimana al-Qur’an mengatakan, dan kehampirannya kepada manusia tidak akan lebih dekat dari urat leher manusia sendiri. Karena manifestasi pengetahuannya berbagai-bagai dan memiliki penampakan zakir dan batin, maka di samping transenden dia juga immanen (tashbih). Dasar-dasar gagasan wujudiyah semacam inilah yang dikembangkan Iraqi.


Rujukan:

Abdul Hadi, W.M., Hamzah Fansuri, Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya,Bandung, 1995, hlm. 9-13

Harun Nasution, dkk., Ensiklopedi Islam Indonesia, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1992, hlm. 296

Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, t.pn., Surabaya, 1930, hlm. 35-36





Tiada ulasan:

Catat Ulasan